PIAGAM PBB
Sebagaimana diketahui Piagam PBB lahir
berdasarkan Konferensi San Francisco yang ditandatangani pada tanggal 26 Juni
1945. Dan baru secara resmi dinyatakan berlaku pada tanggal 24 Oktober 1945,
setelah diratifikasi oleh negara-negara peserta konferensi tersebut. Yang
dimaksud dengan ratifikasi adalah persetujuan dari dewan legislatif, karena
setiap perjanjian internasional tidak begitu saja berlaku setelah ditandatangani
negara peserta, tetapi juga membutuhkan persetujuan dari dewan legislatif negara
yang bersangkutan.
Dalam sejarah kelahiran PBB ini, Konferensi
San Francisco bukan merupakan satu-satunya peristiwa yang melatarbelakangi
lahirnya Piagam PBB. Beberapa peristiwa lain yang juga sangat penting,
sebagaimana diungkapkan Soemarsono Mestoko (1985: 95) diantaranya:
-
Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1941. Ini dari isi piagam ini adalah hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiir (right of self determination) serta penolakan dan pencegahan terhadap segala macam cara kekerasan bagi penyelesaian suatu sengketa atau pertikaian internasional.
-
United Nations Declaration yang ditandatangani pada tanggal 1 Januari 1945 di Washington DC oleh 26 negara peserta. Isi Deklarasi ini pada intinya menyokong prinsip yang terdapat pada Atlantic Charter.
-
Konperensi Moskow, yang diadakan pada tanggal 19 sampai dengan 30 Oktober 1943. Konperensi ini membicarakan masalah peperangan, masalah Polandia dan masalah kerja sama setelah perang, juga membicarakan tentang organisasi dunia untuk perdamaian.
-
Konperensi Yalta, pada tanggal 4 sampai dengan 11 Pebruari 1945. Konperensi ini menyetujui untuk mengadakan pembicaraan lebih lanjut tentang masalah pembentuk organisasi perdamaian dunia (PBB) yang rencananya akan diadakan di Amerika pada bulan April 1945.
-
Konperensi San Francisco, diadakan pada tanggal 25 April 1945 sampai dengan 26 Juni 1945, menghasilkan piagam PBB.
Piagam PBB ini merupakan traktat multilateral,
yakni penuangan kesadaran masyarakat internasional dalam memelihara perdamaian
dan keamanan kolektif, maka Piagam ini secara hukum menciptakan kewajiban yang
mengikat bagi semua negara anggota PBB. Piagam PBB ini memuat beberpa ketetapan
mengenai hak-hak asasi manusia.
Dalam Mukadimah Piagam tersebut dinyatakan
suatu tekad rakyat PBB untuk menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi
manusia, pada martabat dan nilai manusia, pada persamaan hak antara pria dan
wanita, dan antara negara besar dan negara kecil. Pasal 1 (3) dalam Piagam ini
mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah menggalakkan dan mendorong
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang
tanpa membedakan jenis kelamin, ras bahasa atau agama.
Kiprah PBB untuk membantu perkembangan HAM ini
juga dipertegas dengan pasal 55 C, Bab IX : �Kerja sama Ekonomi dan Sosial
Internasional�. Pasal ini menetapkan bahwa PBB harus mengakui dan menggalakkan
penghormatan yang universal atas HAM serta kebebasan-kebebasan fundamental bagi
segala bangsa di dunia tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Lebih lanjut ditegaskan pula dalam pasal 56, yang menyatakan bahwa semua negara
anggota berikrar untuk mengambil tindakan secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri dalam kerja sama dengan PBB untuk mencapai tujuan ini dan tujuan
lain yang ditetapkan dalam Deklarasi Keistimewaan lainnya adalah bahwa Deklarasi
tersebut merupakan pernyataan tentang prinsip-prinsip yang diakui oleh
bangsa-bangsa sebagai tujuan ideal yang menjadi acuan dan pembimbing bagi
pembuatan peraturan dan secara berangsur-angsur hendak direalisasikan.
Ada beberapa ahli hukum internasional yang
mengomentari esensi Piagam ini, seperti yang dikemukakan oleh Scott Davidson,
dalam Human Rights (1993 : 17) Argumentasi mereka adalah bahwa prasyarat
penghormatan dan ketaatan terhadap HAM hanyalah bersifat anjuran dan tidak dapat
diartikan sebagai ketetapan yang menunjukkan kewajiban hukum terhadap para
anggota. Dan kewajiban untuk menggalakkan HAM dalam pasal 55, menurut kelompok
ini, tidak harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi HAM, sebab meskipun
Piagam ini mengakui HAM, akan tetapi Piagam ini tidak memuat daftar hak-hak
asasi manusia tersebut serta tidak mengacu kepada sumber yang menyebutkan secara
tepat atas hak-hak itu. Sehingga tiadanya katalog HAM ini dipandang suatu
kelemahan, disamping juga Deklarasi ini tidak memuat lembaga atau mekanisme
perlindungan akan menjamin diindahkannya hak asasi manusia itu.
Dalam menutupi kelemahan tersebut, maka
diupayakan untuk menyusun suatu �bill of rights� (pernyataan tertulis yang
memuat daftar hak asasi manusia). Penyusunan �bill of rights� ini diserahkan
kepada Komisi Hak Asasi Manusia (CHR), suatu komisi kerja ECOSOC (Economic
and Social Council Dewan/Ekonomi Sosial PBB). Komisi yang merupakan negara
anggota PBB ini kemudian memutuskan bahwa katalog HAM berbentuk sebuah resolusi
Majelis Umum PBB. Sebab walau tidak mengikat secara hukum, deklarasi yang
bersifat resolusi dapat memproklamasikan suatu standar prestasi bersama bagi
semua orang dan semua negara. Dan kemudian pada bagian akhirnya dari Deklarasi
tersebut memuat daftar hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya bagi semua
orang tanpa kecuali.
Ikhtisar Deklarasi ini (Subhi Mahassani, 1993)
memuat hak dan kebebasan-kebebasan asasi ini, yakni bahwa deklarasi menyebut
kebebasan individu, larangan perbudakan dan perhambaan, martabat individu secara
hukum dan undang-undang, larangan penganiayaan, menghukum dan memperlakukannya
secara kejam atau menghinakannya, kebebasan berfikir, menyatakan pendapatan
berserikat, hak milik pribadi, rumah, kehidupan pribadi, kemuliaan dan nama
baik.
Mengenai kehidupan sosial, Deklarasi
menegaskan akan persamaan semua warga negara di hadapan hukum dan undang-undang
tanpa ada perbedaan antara mereka karena perbedaan politik, hak rakyat dalam
pergaulan dan kehidupan secara umum dan dalam menduduki jabatan, memperoleh
jaminan sosial, hak menikmati atas kebangsaan, hak berpindah, hak berdomisili
dan hak atas perlindungan dari ancaman (suaka). Dalam prinsip hukum, Deklarasi
menetapkan asas praduga tak bersalah yaitu bahwa asalnya seseorang bebas tak
bersalah dan larangan penagkapan, pemenjaraan atau pengusiran secara
sewenang-wenang, hak kegiatan pengadilan secara terbuka dan jujur. Dalam urusan
keluarga, Deklarasi menetapkan hak untuk kawin, kehormatan keluarga, hak kaum
wanita untuk hidup memperoleh jaminan keamanan dan kemerdekaan pribadi, hak-hak
ibu dan anak serta hak menentukan pendidikan.
Dalam urusan keadilan sosial, deklarasi
menegaskan hak memperoleh pekerjaan, hak cuti, hak memperoleh kehidupan yang
layak, pendidikan cuma-cuma, ikut serta dalam kegiatan sosial dan kebudayaan,
kesenian dan kesusastraan, serta hak memperoleh pendidikan bagi pengembangan
pribadi. Dalam kewajiban-kewajiban sosial, Deklarasi menetapkan kewajiban setiap
individu untuk menunaikan kewajiban dengan tujuan mengembangkan bakat pribadinya
disertai dengan larangan membatasi hak-haknya.
Kembali bahwa Deklarasi tidak dimaksudkan
untuk menciptakan kewajiban yang mengikat negara-negara anggota secara hukum,
memang sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakannya. Oleh karena itu Majelis
Umum memberi mandat kepada Komisi HAM untuk menyempurnakan perumusan naskah
Deklarasi tersebut menjadi sebuah traktat Internasional yang mengikat serta
menetapkan lembaga dan mekanisme bagi pengawasan dan pelaksanaannya. Akan tetapi
tugas tersebut tidak dapat terselesaikan pada saat itu.
Lalu bagaimana status hukumnya Deklarasi
Universal tersebut saat dewasa ini? Scott Davidson (1993 : 92 � 93) mengemukakan
beberapa jawaban yang bermakna normatif yakni: Pertama, Deklarasi tetap
berstatus sebagai resolusi yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
negara-negara. Akan tetapi mengingat perkembangan-perkembangan praktik PBB yang
nyata di kemudian hari, dimungkinkan status berubah. Kedua, Deklarasi
dapat diargumenkan sebagai tafsiran resmi terhadap Piagam oleh Majelis Umum PBB.
Ketiga, Deklarasi dapat dipostulatkan telah menjadi bagian dari
prinsip-prinsip hukum yang umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Postulat ini sangat kuat karena hampir semua
undang-undang dasar dalam dunia modern sekarang memuat suatu komitmen untuk
melindungi HAM dan terdapat katalog HAM yang dilindungi. Keempat,
Deklarasi kini telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan Internasional. Dan
argumentasi inilah yang dianggap menyakinkan, sebab dalam banyak praktik-praktik
negara mengindikasikan bahwa Deklarasi ini merupakan pedoman umum untuk mengukur
standar pelaksanaan HAM di negara-negara tersebut.
Dari argumenyasi terakhir tersebut, maka
Deklarasi memiliki ciri-ciri IUS COGENS, yakni norma-norma yang harus dipatuhi
dan tidak boleh dikurangi. Deklarsi ini dianggap merupakan bagian dari hukum
kebiasaan internasional, menurut Scott Davidson pula, yakni: Pertama,
hak-hak di dalam Deklarasi ini mencakup campuran hak-hak generasi pertama, kedua
dan ketiga, sehingga semua jenis hak-hak tersebut terumus sebagai perintah yang
pasti dan mendesak kepada negara-negara. Misalnya, tentang pasal 3, hanya
terumus semua orang mempunyai hak hidup, hak atas kebebasan dan keamanan
pribadi. Deklarasi tersebut tidak menjelaskan apakah hak-hak itu bersifat
mutlak, atau ada pengecualian seperti aborsi atau hukuman mati yang diputuskan
pengadilan. Kedua, masalahnya tidak adanya lembaga atau mekanisme yang
khusus yang diberi wewenang untuk menafsirkan atau menerapkan Deklarasi.
Akan tetapi betapa pun Dekalarsi itu ada
kelemahannya, tampaknya sejumlah organ PBB, Badan Internasional maupun
pengadilan domestik cukup diyakinkan bahwa beberapa hak yang dinyatakan dalam
Deklarasi tersebut dapat diterapkan secara umum.
Setelah mempelajari modul ini diharapkan Anda dapat memiliki
pengetahuan tentang Hak-hak Asasi Manusia, memahami dan sadar akan hak-hak dasar
menghormati hak-haknya sendiri serta hak-hak orang lain serta mampu
membandingkan implementasi pelaksanaan Hak-hak Asasi Manusia di berbagai negara
dan pelaksanaannya di Indonesia.
23.17
Unknown


0 komentar:
Posting Komentar